“Selamat pagi, Dunia”
dunia dalam duka
kau lihat,
ribuan kepala tertunduk terdiam
diantara denting dentum meriam
merobek telinga, mata terpejam
menjamah setumpuk kisah hitam
nurani tak bersemayam
hanyut tenggelam
tenggelam
kau tatap,
tiada lagi senyum indah
menyapa cakrawala
yang terlukis hanya darah
di ufuk senja
kau tatap,
desir angin kebencian
mengusap tubuh merenta
desah nafas kemanusiaan
terhempas debu-debu nista
meluapkan derita
melenyapkan cinta
“harusnya kau malu pada semut yang tak berakal!”
Aku termangu menahan detak-detak jantung
Di batas nadiku, pembunuhan meregang nyawa
Aku termangu menahan retak-retak tulang
Di batas tubuhku, penganiayaan merenggut cinta
Aku termangu menahan luka-luka terpahat
Di batas telapakku, peperangan membakar dunia
“harusnya kau malu pada lebah yang tak bermoral!”
“Selamat siang, Dunia”
dunia banjir airmata
Sepertiga
derai-derai tangis malaikat, terlihat
aku terkapar di tebing laut merah
menyaksikan remuknya sayap-sayap patah
terpaku di ujung peperangan
terhanyut pecah, saat semut dan lebah
bakar-membakar
dunia ini menangis
damai terhempas deru angin
apakah kau mau dunia ini
dalam duka selamanya?
Sepertujuh,
derai-derai tangis malaikat, terlihat
aku terdampar di tanah Gaza
mencium daun-daun penbantaian di ujung senja
kemanusiaan jatuh terinjak diantara sayup-sayup
suara bocah dipahat tentara
dunia ini menangis
damai terhempas deru angin
apakah kau mau dunia ini
dalam duka selamanya?
Sepersembilan,
derai-derai tangis malaikat, terlihat
aku terbakar diantara Amman dan Yerusalem
darah mengguyur tubuh
tulang merapuh
luluh tertikam senjata musuh
meneguk mesiu, menelan peluru
diiringi nyanyian burung
ababil yang gaduh
damai terhempas deru angin
apakah kau mau dunia ini
dalam duka selamanya?
Wahai langit,
Diujung Subuh aku mencium wangi
darah syuhada
Diujung takbir aku menunggu seribu
Sayap kupu-kupu
Mengepakan perdamaian
Aku terbata,
mencari nurani pada jejak cinta
Aku terpana,
menyusuri mimpi pada tetes airmata
Aku terharu,
mengeja tirani pada mesiu berona lindap
Aku terpaku,
membaca imaji pada peluru bersayap gelap
“Selamat malam, Dunia”
Langit Mekkah terlukis darah
dunia dalam duka
kau lihat,
ribuan kepala tertunduk terdiam
diantara denting dentum meriam
merobek telinga, mata terpejam
menjamah setumpuk kisah hitam
nurani tak bersemayam
hanyut tenggelam
tenggelam
kau tatap,
tiada lagi senyum indah
menyapa cakrawala
yang terlukis hanya darah
di ufuk senja
kau tatap,
desir angin kebencian
mengusap tubuh merenta
desah nafas kemanusiaan
terhempas debu-debu nista
meluapkan derita
melenyapkan cinta
“harusnya kau malu pada semut yang tak berakal!”
Aku termangu menahan detak-detak jantung
Di batas nadiku, pembunuhan meregang nyawa
Aku termangu menahan retak-retak tulang
Di batas tubuhku, penganiayaan merenggut cinta
Aku termangu menahan luka-luka terpahat
Di batas telapakku, peperangan membakar dunia
“harusnya kau malu pada lebah yang tak bermoral!”
“Selamat siang, Dunia”
dunia banjir airmata
Sepertiga
derai-derai tangis malaikat, terlihat
aku terkapar di tebing laut merah
menyaksikan remuknya sayap-sayap patah
terpaku di ujung peperangan
terhanyut pecah, saat semut dan lebah
bakar-membakar
dunia ini menangis
damai terhempas deru angin
apakah kau mau dunia ini
dalam duka selamanya?
Sepertujuh,
derai-derai tangis malaikat, terlihat
aku terdampar di tanah Gaza
mencium daun-daun penbantaian di ujung senja
kemanusiaan jatuh terinjak diantara sayup-sayup
suara bocah dipahat tentara
dunia ini menangis
damai terhempas deru angin
apakah kau mau dunia ini
dalam duka selamanya?
Sepersembilan,
derai-derai tangis malaikat, terlihat
aku terbakar diantara Amman dan Yerusalem
darah mengguyur tubuh
tulang merapuh
luluh tertikam senjata musuh
meneguk mesiu, menelan peluru
diiringi nyanyian burung
ababil yang gaduh
damai terhempas deru angin
apakah kau mau dunia ini
dalam duka selamanya?
Wahai langit,
Diujung Subuh aku mencium wangi
darah syuhada
Diujung takbir aku menunggu seribu
Sayap kupu-kupu
Mengepakan perdamaian
Aku terbata,
mencari nurani pada jejak cinta
Aku terpana,
menyusuri mimpi pada tetes airmata
Aku terharu,
mengeja tirani pada mesiu berona lindap
Aku terpaku,
membaca imaji pada peluru bersayap gelap
“Selamat malam, Dunia”
Langit Mekkah terlukis darah